Selasa, 03 Maret 2015

Waria Juga Manusia





Sebagian orang bilang, seseorang terlahir sebagai waria, hal tersebut sudah ada dalam dirinya. Sebagian orang lagi bilang, menjadi waria itu pilihan, maksudnya, kalau dia mau berubah atau ‘melawan’, bisa saja menjadi normal lagi. Salah di mata agama, salah dalam pandangan masyarakat, terserahlah teori mana yang benar, tapi menurut saya, (mungkin)mana ada orang yang sebetulnya mau menjadi waria? 

Di mata saya, mereka sama saja seperti kita. Mungkin, mereka hanyalah laki-laki yang merasa lebih nyaman menjadi perempuan. Coba, kalau kamu yang dihadapkan dalam kehidupan seperti itu, mau?
Miris rasanya kalau mendengar ada orang yang mengejek mereka ini, ‘banci’ atau ‘bencong’, kira-kira begitulah sebutannya. Contoh lain, orang suka ‘ngeri’ atau ‘geli’ ketika ada waria sedang mengamen. Kenapa sih? Memangnya kamu diapain? Kan, mereka cuma nyanyi dan menari. Mereka kan lagi mencari uang. Sebelum mencemooh dengan kalimat, ‘memangnya tidak ada cara lain selain jadi waria?’, kenapa tidak berpikir, mungkin, ya itulah keahlian mereka, menari di depan orang. Jangan bilang kalau mereka tidak tau malu, bisa jadi mereka justru mati-matian menahan malu, demi bisa makan dan demi tetap hidup.

Mereka juga biasa bekerja di salon. Biasanya merekalah yang lebih luwes menghadapi pelanggan. Mereka juga rata-rata menyenangkan kok, coba dengar celotehan mereka, kita seringkali terbahak-bahak dibuatnya kan? Jadi, biarlah mereka dengan diri mereka apa adanya. Selama tidak mengganggu atau merugikan kita, biarkan saja.

Saya jadi ingat, saya beberapa kali melihat seorang waria sedang mengamen di sekitar komplek rumah saya. Biasanya dia mendatangi mini market, pangkalan ojek atau pedagang-pedagang kaki lima. Seringkali dia cuma jadi tontonan atau bahkan bahan tertawaan. Nah, suatu hari, saya ke apotek dan dia juga sedang beli obat. Karena dia datang duluan, saya menunggu giliran dan berdiri di sebelahnya. Tidak lama, petugas apotek bilang, ‘Nih obatnya, sehat terus ya’, dan dia bergegas pergi membawa satu strip obat maag.

Sedih sekali rasanya, saya baru melihat, uang yang ditaruhnya di depan kasir, semuanya koin. Rp 100 Rp 200, Rp 500 dan Rp 1000, menumpuk jadi 1. Tidak ada uang kertas selembar pun. Pastinya, itu uang hasil mengamen. Sebelumnya, koin-koin itu terhalang dengan speaker yang dibawanya. Tuhanku, seandainya saya tau dan seandainya dia izinkan, biar saja yang bayar obat itu.
Sampai sekarang, saya masih membatin, seandainya waktu saya bisa membantu. Saya membayangkan, betapa susahnya dia mengumpulkan koin untuk 1 strip obat maag dan kemungkinan besar dia tidak makan dengan layak. Mungkin cuma mi instan atau mungkin saja makanannya kurang. Tau sendirilah, kira-kira apa penyebab dia sampai beli obat maag.

Perkara ada waria yang ‘memberikan diri’ ke orang lain, ya yang seperti di Taman Lawang itu misalnya. Itu urusan dirinya dengan diri dia sendiri dan Tuhan.  Yang pasti, kita tidak berhak meremehkan atau merendahkan mereka.   


image: jakartapress